Minggu, 04 Oktober 2015

Sastra Menyuarakan Hati dan Pikiran Kami


berbagai informasi yang menarik dan mengedukasi seputar Seni, Sastra dan Budaya, tentu saja di setiap tulisan kami tidak luput dari pengamatan kacamata seorang PR.

 Memaparkan bahwa sastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. - Sapardi Djoko Damono

 
Sebagaimana yang telah kita ketahui sastra adalah sebuah kumpulan kata-kata maupun kalimat-kalimat (tulisan) yang memiliki makna dan keindahan untuk setiap pembacanya. Dengan memiliki tujuan selain untuk menghibur juga dapat membangkitkan semangat, memotivasi, mengilhami, menyuarakan pendapat; perasaan; fikiran; keinginan; dll. Ditulis oleh sastrawan yang hendak menumpahkan idenya baik dalam sastra tertulis maupun sastra lisan (oral). 



Kereta kayu pada zaman kemerdekaan untuk mengangkut para Tentara Nasional Indonesia dengan bertuliskan semboyan “Merdeka Atoe Mati”, di Museum Transportasi Taman Mini Indonesia. http://heritage.kereta-api.co.id/?p=5092

Semboyan di atas secara tidak langsung merupakan sebuah tulisan sastra yang di tuliskan untuk menyemangati para pejuang Indonesia dalam menghadapi penjajah, yang memiliki makna sangat mendalam antara siapkah kita merdeka dengan melawan para penjajah hingga titik darah penghabisan atau siap mati dengan berdiam diri dan menyerah membiarkan negara sengsara oleh dan dengan penjajahan.

Ada pula yang mengartikannya dengan mengimplementasikannya ke dalam hidup kita,  Kalau dirujukkan pada hukum alam, semboyan itu juga punya arti pilihan hidup. Kalau kita tidak bisa hidup dengan kemerdekaan maka kita akan menjalani hidup dengan kematian. Secara harfiah, kemerdekaan adalah kemandirian hidup, kebebasan, dan ketegasan.” (camuflasa-75780)


Tidak hanya semboyan, tetapi banyak sastrawan muda maupun senior, dan para musisi yang menuliskan atau menyuarakan karya sastranya dalam bentuk, puisi maupun syair, yang bertujuan untuk menyampaikan aspirasi serta suara-suara mereka dan rakyat yang tak tersampaikan kepada para penguasa negara ini, dan sastra adalah wadah maupun media yang dapat mereka manfaatkan dalam menyampaikan pesan-pesan tersebut.

Beberapa contoh karya sastra lainnya, diantaranya;

Mr. Presiden, boleh aku bertanya
Untuk siapa istana yang kau diami
Untuk siapa karpet merah yang kau tapaki
Tolong katakan, semua itu untuk rakyat yang menderita
Mr. Presiden, boleh aku bertanya lagi
Untuk siapa bendera yang kau kibarkan
Untuk siapa pidato yang kau tebarkan
Tolong katakan, semua itu untuk rakyat yang masih nestapa
Mr. Presiden, lelah sudah aku bertanya
Karena di bawah langit nusantara
Masih ada orang salah dibenarkan; Dan orang benar disalahkan
Masih ada orang membenarkan kebiasaan; Daripada membiasakan kebenaran
Masih ada orang membuat alasan; Bukan berbuat karena ada alasan
Mr. Presiden, berpeganglah pada sumpahmu
Agar bangsa ini tak sebatas kamu dan aku
Agar bangsa ini lebih banyak bicara tentang kita
Agar esok, tiada kata dusta untukmu
Mr. Presiden
Bait puisi dalam Buku Antologi Puisi Kritik Sosial Tiada Kata Dusta untuk Presiden yang terbit pada Sabtu, 13 Desember 2014. Karya Syarifudin Yunus, dkk diterbitkan oleh El Nisa Publisher

Puisi diatas ditujukan untuk presiden kita yang setahun lalu baru menjabat ialah Joko Widodo sebagai Presiden ke – 7 Republik Indonesia. Disinilah dapat tergambar bahwa sastra memberikan peluang yang sangat besar dalam menyampaikan kritik sosial, pesan moral, dan dukungan kepada para penguasa yang memenggenggam amanah rakyat.

Menurut Syarif Yunus (alumni UNJ, Fak. Sastra dan Bahasa Indonesia), antologi puisi di atas berpesan, bahwa bangsa ini akan lebih baik karena pemimpinnya punya niat yang baik. Karena masalah bangsa, tak sebatas KAMU dan AKU. Tapi masalah KITA. Karenanya, TIADA KATA DUSTA untuk PRESIDEN. Biarkan akhirat yang membalasmu, bukan dunia yang mengelabuimu.”


“…Mau tau gak mafia di senayan.. kerjaannya tukang buat peraturan... bikin UUD... Ujung-Ujungnya Duit... kacau balau.. kacau balau.. negaraku ini...” (Gossip Jalanan-Slank:2005)
Masih ingatkah terhadap penggalan lirik di atas? Penggalan lirik dari musisi ternama di Indonesia jaman dahulu yaitu, Slank yang telah menjadi fenomena dalam dunia musik tanah air. Dalam lagunya yang berjudul Gossip Jalanan sempat mengundang kritik keras dari anggota DPR tahun 2008. Pada saat itu Slank hanya ingin mendukung menyuarakan fenomena sosial yang ada di masyarakat dengan memberikan dukungan kepada KPK yang sedang berseteru dengan kepolisian, hingga pada akhirnya mendapatkan dukungan dari rakyat dan kemenangan.

Tertulis dalam sastra – indonesia.com, sastra menyodorkan ke hadapan kita ekspresi estetis tentang manusia dan kebudayaanya. Di dalamnya tercakup kompleksitas ideologi, dunia nilai, norma hidup, etika, pandangan dunia, tradisi, tradisi, dan variasi-variasi tingkah laku manusia. Dengan kata lain, sastra berbicara tentang tingkah laku manusia di dalam kebuudayaannya. Tak mengherankan sastra di sebut cermin masyarakat, dan cermin zaman, yang secara antropologis mempresentasikan usaha manusia menjawab tantangan hidup dalam suatu masa, dalam suatu konteks sejarah tertentu.

Di beberapa negara sastra menjadi musuh bagi para penguasa karena dinilai menyimpang dari pandangan para penguasa dan dapat mengancam keberadaan dan kekuasaan mereka, sehingga tak terpungkiri di beberapa negara banyak sastrawan yang disingkirkan dari negaranya sendiri, seperti negara Rusia pada masa kejayaan Stalin.

Berbagai cara dapat kita lakukan dalam menyuarakan aspirasi kita kepada para penguasa sekarang ini, dengan hidup di zaman era digital memungkinkan dan memudahkan kita dalam menyampaikan pesan keseluruh belahan dunia. Dan sastra menjadi perbincangan kita kali ini karena sastra termasuk dalam cara yang berbeda tetapi tetap aman dalam menyuarakan pendapat maupun kritik sosial. Di zaman dahulu sastra dapat kita publikasikan dengan mengirimkan karya kita ke koran-koran maupun majalah-majalah untuk di terbitkan, ataupun menciptakan buku, dan cara lainnya lagi seperti para musisi menyuarakannya melalui syair atau lirik lagu mereka sehingga dapat di dengar oleh seluruh kalangan (penguasa dan masyarakat). Tetapi di zaman era digital ini kita tidak perlu lagi capek – capek untuk mengirimkan karya kita ke majalah maupun koran, kita bisa dengan mudah mempublikasikannya melalui sosial media yang telah ramai di tawarkan di dunia maya maupun gadget pribadi kita, tidak hanya di sosial media, kita dapat membuat blog untuk kumpulan karya-karya kita maupun membuatnya di website-website tertentu yang menampung karya-karya kita. Sehingga kita tidak perlu lagi bersusah payah mengadakan demo, dengan mengumpulkan masa, berdiri panas-panasan dan berteriak-teriak agar suara kita di dengar oleh para penguasa dan masyarakat sekitar dalam mengundang simpatik sosial, yang lama – kelamaan berujung pada kerusuhan dan kekerasan yang terjadi antara orang – orang yang berdemo dengan pihak yang berwenang dalam menertibkan demonstran.


Ditulis oleh. Claudia Agitasari Menayang

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar